Revisi UU Pilkada, Langkah Progresif atau Ancaman Stabilitas Politik?

Revisi UU Pilkada, Langkah Progresif atau Ancaman Stabilitas Politik
Politik - Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menggelar Rapat Panitia Kerja (Panja) pada Rabu (21/08/2024) untuk membahas Revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Dalam rapat yang berlangsung di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Panja ini menyoroti 16 Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang mencakup perubahan redaksional dan substansi. Namun, tidak semua fraksi sepakat, dengan Fraksi PDI-Perjuangan menjadi satu-satunya yang menolak sebagian besar perubahan yang diajukan.

Perubahan Nomenklatur dan Konsekuensinya

Salah satu perubahan signifikan yang dibahas dalam rapat tersebut adalah mengenai nomenklatur dari “Panwaslu” menjadi “Bawaslu”, sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XVII/2019 yang tercantum dalam DIM nomor 31.

Selain itu, terdapat juga perubahan pada DIM nomor 50, yang mengubah nomenklatur “PPL” menjadi Panitia Pengawas Pemilihan Kelurahan/Desa. Namun, perubahan ini tidak berlaku untuk Bawaslu Kabupaten/Kota, karena lembaga tersebut sudah terbentuk saat Pemilu sebelumnya.

Wakil Ketua Baleg DPR RI, Achmad Baidowi, yang memimpin rapat tersebut, menjelaskan bahwa perubahan ini bukan hanya sekadar redaksional tetapi juga substansial.

“Ini ada perubahan substansi karena di DIM 31 ini bertentangan dengan undang-undang pemilu karena Bawaslu kabupaten/kota itu dibentuk oleh Bawaslu RI. Ini ada perubahan redaksi substansi bukan cuma redaksi, substansi ini. Karena ini lebih kepada pengertian,” ujar Baidowi.

Perubahan nomenklatur ini memiliki dampak yang lebih luas dari sekadar penggantian istilah. Pergantian ini mencerminkan upaya pemerintah untuk menyelaraskan berbagai peraturan perundang-undangan terkait pemilu dengan perkembangan terbaru dalam proses demokratisasi di Indonesia. Perubahan ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pengawasan Pilkada, terutama di tingkat lokal.

Usia Minimal Calon Kepala Daerah: Antara Keputusan Mahkamah Agung dan Realitas Politik

DIM nomor 72 menjadi salah satu poin yang paling kontroversial dalam pembahasan kali ini. DIM ini membahas mengenai usia minimal bagi calon gubernur dan wakil gubernur serta calon bupati/wali kota dan wakil bupati/wali kota. DIM tersebut disetujui oleh delapan fraksi, kecuali Fraksi PDI-Perjuangan, yang menyatakan penolakan.

Perubahan ini mengikuti keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menetapkan bahwa calon gubernur dan wakil gubernur harus berusia minimal 30 tahun, sementara calon bupati/wali kota dan wakil bupati/wali kota harus berusia minimal 25 tahun, terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih.

“Setuju ya, merujuk kepada Mahkamah Agung ya?” tanya Achmad Baidowi kepada anggota dewan yang hadir, dan diikuti dengan jawaban ‘setuju’ dari mayoritas peserta rapat.

Namun, penolakan Fraksi PDI-Perjuangan terhadap DIM ini mencerminkan perdebatan yang lebih dalam mengenai kriteria kelayakan calon kepala daerah. Usia minimal menjadi isu penting karena menyangkut kualitas dan kapabilitas calon dalam memimpin daerah.

PDI-Perjuangan tampaknya khawatir bahwa pengurangan usia minimal ini dapat membuka peluang bagi calon yang kurang berpengalaman untuk maju dalam Pilkada, yang pada akhirnya bisa berdampak pada kualitas kepemimpinan di daerah.

Pengunduran Diri Anggota DPR, DPD, dan DPRD: DIM 87 dan Dampaknya

DIM nomor 87, yang juga menjadi sorotan dalam rapat tersebut, mencakup perubahan substansial terkait pengunduran diri anggota DPR, DPD, dan DPRD saat ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pilkada. Perubahan ini didasarkan pada Putusan MK nomor 33/PUU-XIII/2015, yang mengatur bahwa anggota legislatif harus mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai calon dalam Pilkada.

Perubahan ini bertujuan untuk memastikan bahwa anggota legislatif yang maju sebagai calon kepala daerah tidak memanfaatkan posisinya untuk kepentingan pribadi selama proses Pilkada berlangsung.

Namun, kebijakan ini juga menimbulkan risiko, terutama bagi anggota legislatif yang maju dalam Pilkada tetapi gagal terpilih. Mereka harus menerima konsekuensi kehilangan jabatan legislatif tanpa ada jaminan bahwa mereka akan mendapatkan posisi baru setelah Pilkada.

Selain itu, DIM nomor 88 juga mengalami perubahan redaksional, di mana istilah “pegawai negeri sipil” digantikan dengan “Aparatur Sipil Negara” (ASN), sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN.

Perubahan ini mencerminkan upaya pemerintah untuk menyesuaikan peraturan yang ada dengan terminologi terbaru, sehingga tidak terjadi kebingungan dalam implementasinya di lapangan.

Syarat Ambang Batas Pencalonan: Pertarungan antara Putusan MK dan Kepentingan Politik

Salah satu perubahan substansial lainnya yang diusulkan dalam rapat Panja Baleg adalah terkait Pasal 40 mengenai syarat ambang batas pencalonan Pilkada. Pasal ini mengalami perubahan berdasarkan Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah untuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD.

Dalam rapat tersebut, disepakati bahwa syarat ambang batas pencalonan pilkada dari jalur partai hanya berlaku untuk partai yang tidak memiliki kursi di DPRD. Partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD provinsi dapat mendaftarkan calon gubernur dan wakil gubernur dengan ketentuan mengikuti putusan MK.

Dalam putusan terbaru, MK menetapkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik dapat mengusung calon jika memperoleh suara sah antara 6,5 persen hingga 10 persen, tergantung pada jumlah daftar pemilih tetap di provinsi tersebut.

Namun, aturan syarat pencalonan bagi partai yang memiliki kursi di DPRD tetap mengikuti aturan lama. Artinya, partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD harus memenuhi syarat perolehan minimal 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.

Perubahan ini menimbulkan perdebatan yang cukup tajam di kalangan anggota dewan dan pengamat politik. Di satu sisi, penurunan ambang batas ini dianggap sebagai langkah progresif untuk membuka peluang lebih besar bagi partai-partai kecil yang tidak memiliki kursi di DPRD untuk berpartisipasi dalam Pilkada.

Hal ini diharapkan dapat memperkaya kompetisi politik di tingkat daerah dan memberikan lebih banyak pilihan kepada pemilih.

Di sisi lain, fraksi-fraksi besar yang memiliki banyak kursi di DPRD memandang perubahan ini sebagai ancaman bagi dominasi mereka dalam proses Pilkada. Mereka khawatir bahwa penurunan ambang batas ini akan memudahkan partai-partai kecil untuk mengajukan calon yang tidak memiliki dukungan kuat di tingkat akar rumput, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi stabilitas politik di daerah.

Polemik Internal dan Tantangan Implementasi

Meski telah disepakati oleh mayoritas fraksi, revisi UU Pilkada ini masih menyisakan sejumlah polemik, terutama terkait dengan implementasi di lapangan. Tantangan terbesar adalah memastikan bahwa perubahan yang diusulkan dapat diimplementasikan dengan baik dan tidak menimbulkan konflik atau kebingungan di kalangan pemilih maupun penyelenggara pemilu.

Selain itu, partisipasi masyarakat dalam proses pembahasan revisi ini juga menjadi sorotan. Banyak kalangan mengkritik bahwa proses pembahasan revisi UU Pilkada ini berjalan terlalu cepat dan kurang melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa revisi ini lebih didorong oleh kepentingan politik tertentu daripada kebutuhan untuk memperkuat sistem pemilihan kepala daerah yang demokratis dan akuntabel.

Achmad Baidowi menekankan pentingnya penyelarasan revisi ini dengan peraturan perundang-undangan yang ada, terutama putusan-putusan MK yang bersifat final and binding. Namun, tantangan terbesar tetap pada bagaimana memastikan bahwa perubahan yang diusulkan dapat diterima dan dipahami oleh semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat umum.

Dalam konteks ini, pengawasan dan transparansi menjadi kunci. Bawaslu, yang perannya diperkuat melalui perubahan nomenklatur, diharapkan dapat memainkan peran yang lebih aktif dalam memastikan bahwa Pilkada berjalan dengan jujur, adil, dan sesuai dengan peraturan yang telah disepakati.

Dengan berbagai perubahan yang telah disepakati dan kontroversi yang mengiringinya, revisi UU Pilkada ini menjadi salah satu isu penting dalam dinamika politik Indonesia saat ini. Keputusan-keputusan yang diambil dalam proses revisi ini tidak hanya akan mempengaruhi pelaksanaan Pilkada 2024, tetapi juga masa depan demokrasi di tingkat lokal di Indonesia.

Kesimpulan: Revisi yang Penuh Kontroversi

Revisi UU Pilkada ini mencerminkan upaya yang kompleks untuk menyelaraskan regulasi pemilihan kepala daerah dengan kebutuhan zaman. Meskipun terdapat persetujuan di sebagian besar DIM, perbedaan pendapat, terutama dari Fraksi PDI-Perjuangan, menunjukkan bahwa revisi ini masih menghadapi tantangan besar dalam implementasinya.

Dengan berbagai perubahan yang telah disepakati, termasuk dalam hal nomenklatur, usia minimal calon, dan ambang batas pencalonan, revisi ini diharapkan dapat memperkuat demokrasi di Indonesia, meskipun tantangan dan kontroversi masih terus membayangi.***

Fauzi

Content Writer, Copywriter, Journalist

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama